TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
A.
Teori Belajar Psikologi Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang
dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai
pemikiran selama tahun 1950-an. Teori behavioristik berpendapat bahwa semua
perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan
internal. Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati.
Terdapat tiga macam teori behavioristik, yakni:
connectionism (koneksionisme), classical conditioning (pembiasaan klasik), dan
operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).
1.
Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang
ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan
eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya,
Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan
respons. Dari penelitiannya itu, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai
berikut:
(1)
Law of effect yaitu jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
(2)
Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan
asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions unit
(satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong
organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini
semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat
historis.
(3)
Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use
and law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku
(perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi
perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika
perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut
akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).
2.
Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini
berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel
pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan
refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek
tersebut (Terrace, 1973).
Berdasarkan eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa
belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus
dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan
stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan
menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
3.
Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasaan perilaku respons
(operant conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir
tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah bahwa tingkah
laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah
laku itu sendiri (Bruno, 1987).
“Operant” adalah sejumlah
perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang
dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce.
Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu.
Selanjutnya, proses belajar dalam
teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang
berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant
extinction. Menutut law of operant conditioning, jika timbulnya
tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah
laku tersebut akan meningkat. Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike,
Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan teori dan
juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan, diantaranya:
a.
Proses itu dapat diamati secara langsung, padahal
belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar
kecuali sebagian gejalanya.
b.
Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga
terkesan seperti mesin dan
robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction
(kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat
kognitif, dan karenannya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki,
misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.
Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan
perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan
karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan.
B. Teori Belajar Psikologi
Kognitif
Psikologi
kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses mental termasuk
bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang psikologi
kognitif sangat luas, tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana masukan
sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi.
Pandangan ini disebut
fungsionalisme kausal atau fungsionalisme.
1. Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan
perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai
perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak
mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap
perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang
keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih
umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat
sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang,
mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya.
b.
Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun
hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan
anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai
realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat
banyak hal tentang lingkungannya.
c.
Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran
logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu
menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang
sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran
yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan
bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
d.
Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun
sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak,
yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat
memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah
2. Jerome Bruner Dengan
Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa
pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,
iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif mengandung sebuah
kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pengetahuan enaktif adalah
mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan pengetahuan tersebut
daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara
melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu
paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika
mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan
pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak
mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka.
Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga
dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan
dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini
merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak
(seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan
pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak,
dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal
dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
3. Teori Belajar
Bermakna Ausubel
Psikologi pendidikan yang diterapkan
oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Menurut
Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning)
dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Menurut Ausubel supaya proses
belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan
sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini
akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh
berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan
penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi
jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Belajar seharusnya merupakan apa
yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu
diperlukan dua persyaratan :
a. Materi yang
secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan dan
pengetahuan masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam
situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan
penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi
baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana melakukannya.
Berdasarkan uraian di atas maka,
belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta
didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang
bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan
situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
4. Teori Belajar
“Cognitive-Field” dari Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah
Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Perubahan sruktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan
kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu.
Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
C. Teori Belajar Humanistik
Aliran psikologi humanistik sangat
terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik menjadi dasar
keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi humanistik utamanya
didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi eksistensial dan
pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang. Psikologi
humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang
secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui
penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu
mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
Pendekatan pengajaran humanistik
didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk menjadi orang
dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang digunakan oleh
Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri, percaya diri,
realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu menerima dirinya
sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya. Untuk menjadi dewasa
dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang
memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar pendidikan humanistik
adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan independen, mengambil tanggung
jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik dengan seni, dan menjadi
ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan dengan itu, prinsip-prinsip
pendidikan humanistik disajikan sebagai berikut.
a. Siswa harus
dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa
siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan
kebutuhan dan keinginannya.
b. Tujuan pendidikan
harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara
belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar
sendiri.
c. Pendidik
humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan dan hanya evaluasi diri
(selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk
mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik humanistik
menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk menghafal
dan tidak memberikan umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru dan siswa.
d. Pendidik humanistik
percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses
belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
e. Pendidik
humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkunngan,
sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa merasa aman,
belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna.
D. Teori
belajar psikologi sosial
Teori belajar sosial merupakan
perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori belajar
sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Jadi dalam teori belajar
sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement)
eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar
dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya
didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus
lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan
bahwa lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan kerap kali
dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.
A. Teori Pemodelan (Modeling)
Neil Miller dan John Dollard (1941)
dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan (imitation)
merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar
tersebut dinamakan pembelajaran sosial (social learning). Perilaku
peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika
kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.
B. Unsur Utama Teori Pemodelan
Bandura meneliti beberapa kasus, salah
satunya ialah kenakalan remaja. Menurutnya, lingkungan memang membentuk
perilaku dan perilaku membentuk lingkungan. Dalam teorinya, Bandura
menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yaitu
pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal dengan teori
pembelajaran sosial dan regulasi diri.
Beberapa tahapan yang terjadi dalam proses
modeling:
1.
Perhatian (Attention)
Subjek harus memperhatikan tingkah laku
model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada
nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Bandura &
Walters(1963) dalam buku mereka Social Learning & Personality
Development menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain
pembelajaran dapat dipelajari.
2. Mengingat
(Retention)
Subjek yang
memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini
memungkinkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila diperlukan atau
diingini. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan
bagian penting dari proses belajar.
3. Reproduksi gerak (Reproduction)
Setelah mengetahui atau mempelajari
sesuatu tingkah laku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau
menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Jadi setelah subyek
memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar
melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari perilaku yang
dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4. Motivasi
Motivasi juga penting
dalam pemodelan karena ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan
sesuatu. Jadi subyek harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.
Menurut Bandura, ada beberapa jenis motivasi yaitu:
- dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional
- dorongan yang dijanjikan (insentif) yaitu yang bisa kita bayangkan
- dorongan-dorongan yang tampak jelas yaitu seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru
C. Jenis–jenis Peniruan
Peniruan dipengaruhi oleh interaksi antara
ciri model dengan pengamatnya. Peniruan dapat dikelompokkan dalam beberapa
jenis sebagai berikut:
- Peniruan langsung, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.
- Peniruan tak langsung, yaitu peniruan yang dilakukan melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung misalnya meniru watak yang dibaca dalam buku, memperhatikan seorang guru mengajar.
- Peniruan gabungan, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan (peniruan langsung dan tidak langsung) misalnya seorang pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai dari buku yang dibacanya.
- Peniruan sesaat/seketika, yaitu tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.
- Peniruan berkelanjutan, yaitu tingkah laku yang ditiru dan ditonjolkan dalam situasi apapun misalnya seorang pelajar meniru gaya bahasa gurunya.
D. Prinsip-prinsip Modeling
Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan
diperoleh dengan cara mengorganisasi sejak awal dan mengulangi perilaku secara
simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara
perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata–kata, tanda atau gambar daripada
hanya melihat saja. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan
antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif,
dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih berpusat pada
penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik
pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri–ciri model seperti usia,
status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat
imitasi.
FAKOR YANG MEMPENGARUHI
BELAJAR
1.
Faktor
fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah
faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini
dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, keadaan
tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas
belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh
positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah
atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena
itu, keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar dan perlu ada
usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.
Cara untuk menjaga kesehatan jasmani
antara lain adalah:
a.
Menjaga pola
makan yang sehat dengan memperhatikan nutrisi yang masuk kedalam tubuh,
karena kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah,
lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar.
b.
Rajin berolahraga agar tubuh selalu bugar dan sehat.
c.
Istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan
fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi
fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca
indera. Panca indera yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas
belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, merupakan pintu masuk
bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia
dapat menangkap dunia luar. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi
persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik,
mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.
2.
Faktor psikologis
Faktor–faktor psikologis adalah
keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa
faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan
siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
-
Kecerdasan/intelegensi siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan
sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan
diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan
bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh
lainnya. Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam
proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin
tinggi intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut
meraih sukses dalam belajar. Para ahli membagi tingkatan IQ bermacam-macam,
salah satunya adalah penggolongan tingkat IQ berdasarkan tes Stanford-Biner
yang telah direvisi oleh Terman dan Merill sebagai berikut:
Distribusi Kecerdasan IQ menurut Stanford Revision
Tingkat Kecerdasan (IQ)
|
Klasifikasi
|
140 - 169
|
Amat superior
|
120 - 139
|
Superior
|
110 - 119
|
Rata-rata tinggi
|
90 - 109
|
Rata-rata
|
80 - 89
|
Rata-rata rendah
|
70 - 79
|
Batas lemah mental
|
20 - 69
|
Lemah mental
|
Dari tabel tersebut, dapat diketahui
ada tujuh penggolongan tingkat kecerdasan manusia, yaitu:
a.
Kelompok kecerdasan amat superior (very superior) merentang antara IQ 140 - 169
b.
Kelompok kecerdasan superior merentang antara IQ 120 - 139
c.
Kelompok rata-rata tinggi (high average) merentang antara IQ 110 - 119
d.
Kelompok rata-rata (average) merentang antara IQ 90 - 109
e.
Kelompok rata-rata rendah (low average) merentang antara IQ 80 - 89
f.
Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70 - 79
g.
Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20 - 69,
yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, dan
idiot.
-
Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang
mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi
mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif,
mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994).
Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan
terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi
menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi
intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan
memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar
membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak
hanya menjadi aktivitas kesenangannyatetapi sudah mejadi kebutuhannya. Dalam
proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena
motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari
luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah,
1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar anatara lain
adalah:
a.
Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas
b.
Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
c.
Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari
orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, dan teman-teman.
d.
Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi
dirinya.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor
yang datang dari luar diri individu tetapi memberikan pengaruh terhadap kemauan
untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua,
danlain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan
mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.
-
Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan
berfungsinya ingatan, yakni :
1. Menerima kesan,
2. Menyimpan kesan, dan
3. Memproduksi kesan.
Mungkin karena fungsi-fungsi inilah,
istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima,
menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat
sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu
mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang
digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan alat peraga
kesannya akan lebih dalam pada siwa.
Hal lain dari ingatan adalah
kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya
pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada
siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan
belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya
berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan
akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang
relatif lama.
-
Minat
Secara sederhana, minat
(interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang
besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang
popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai factor
internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, moativasi, dan
kebutuhan.
Untuk membangkitkan minat belajar
tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain:
1.
Dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak
membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan
siswa mengeksplore apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa
(kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun
performansi guru yang menarik saat mengajar.
2.
Pemilihan
jurusan atau bidang studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan
atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
-
Sikap
Dalam proses belajar, sikap
individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala
internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau
merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan
sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003).
Sikap juga merupakan kemampuan
memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuia dengan penilaian.
Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap menerima,
menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun
demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar
tersebut.
Sikap siswa dalam belajar dapat
dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru,
pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap
yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang
profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya.
-
Bakat
Faktor psikologis lain
yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude)
didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk
mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan
belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang
dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan
seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar
seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang
dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga
kemungkinan besar ia akan berhasil.
Karena belajar juga dipengaruhi oleh
potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru
perlu memperhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta
didiknya, anatara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa
anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
3.
Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan
memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada
isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian
pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam – macam strategi
belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.
Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga
puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat
selingan beberapa menit. Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar
siswa meningkat kembali. Turunnya perhatian dan prestasi belajar tersebut yaitu
sebagai berikut :
4.
Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri
timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi
perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari
lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap
pembuktian “ perwujudan diri “ yang diakui oleh guru dan teman- temannya.Rasa
takut belajar tersebut terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagal
lagi. Maka, guru sebaiknya mendorong keberanian siswa secara terus – menerus,
memberikan bermacam – macam penguat dan memberikan pengakuan dan kepercayaan
bagi siswa.
5.
Kebiasaan Belajar
Dalam kegiatan sehari –
hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar
tersebut antara lain:
- Belajar pada akhir semester
- Belajar tidak teratur
- Menyia - nyiakan kesempatan belajar
- Bersekolah hanya untuk bergengsi
- Dating terlambat bergaya seperti pemimpin
- Bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain,
- Bergaya minta “ belas kasihan “ tanpa belajar.
6.
Cita – cita Siswa
Pada umumnya, setiap
anak memiliki suatu cita – cita dalam hidup. Cita – cita itu merupakan motivasi
instrinsik. Tetapi, ada kalanya “ gambaran yang jelas “ tentang tokoh teladan
bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berprilaku ikut – ikutan.
Cita – cita sebagai
motivasi instrinsik perlu dididikan. Penanaman memiliki cita –cita harus
dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan
pencapaian cita – cita sudah semakin terarah. Cita –cita merupakan wujud
eksplorasi dan emansipasi diri siswa. Penanaman pemilikan dan pencapaian cita
–cita sudah sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal
yang sederhana ke yang semakin sulit.
2. Faktor-faktor eksogen/eksternal
1. Lingkungan sosial
a. Lingkungan sosial
sekolah, seperti guru , administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi
proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi
motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik
dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi
pendorong bagi siswa untuk belajar.
b. Lingkungan sosial
massyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan
memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan
anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak
siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam
alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
c. Lingkungan sosial
keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan
keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah),
pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar
siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang
harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2. Lingkungan non sosial.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial
adalah;
a. Lingkungan alamiah,
seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang
tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk
dantenang. Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan factor-faktor yang dapat
memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam
tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b. Faktor
instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama,
hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan
olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah,
peraturan-peraturan sekolah, bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.
c. Faktor materi
pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Factor ini hendaknya disesuaikan dengan
usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru,
disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan
kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus
menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan
sesuai dengan konsdisi siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar