Jumat, 08 April 2016

TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN.



TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

A.      Teori Belajar Psikologi Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori behavioristik menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950-an. Teori behavioristik berpendapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan internal. Behavioristik berfokus pada perilaku yang dapat diamati.
Terdapat tiga macam teori behavioristik, yakni: connectionism (koneksionisme), classical conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons).
1.      Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an yang menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimennya, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Dari penelitiannya itu, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut:
(1)   Law of effect yaitu jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dengan respons akan semakin  kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
(2)   Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.
(3)   Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi in law of use and law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunkan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).
2.      Pembiasaan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek tersebut (Terrace, 1973).
Berdasarkan eksperimen Pavlov menyimpulakan bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
3.      Pembiasaan Perilaku Respons
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Tema pokok yang mempengaruhi karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
Operant” adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Rober, 1988). Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kamungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Menutut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas, jika renungkan dan bandingkan dengan teori dan juga riset psikologi kognitif, mengandung banyak kelemahan, diantaranya:
a.       Proses itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
b.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan
robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenannya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.       Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan.

B.     Teori Belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses mental termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat, dan belajar. Bidang psikologi kognitif sangat luas, tetapi umumnya dimulai dengan melihat bagaimana masukan sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan melalui proses kognisi.
Pandangan ini disebut fungsionalisme kausal atau fungsionalisme.
1.      Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.              Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
b.              Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya.


c.              Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
d.             Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah

2.      Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic. Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek, melakukan pengetahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
3.      Teori Belajar Bermakna Ausubel
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
a.       Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan     tingkat    perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b.      Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan   penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.

4.      Teori Belajar “Cognitive-Field” dari Lewin
Tokoh dari teori kognitif adalah Kurt Lewin (1892-1947). Mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.

C.    Teori Belajar Humanistik
Aliran psikologi humanistik sangat terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik menjadi dasar keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi humanistik utamanya didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi eksistensial dan pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang. Psikologi humanistik adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang secara utuh. Psikolog humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamat, malainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu mengintegral dengan perasaan batin dan citra dirinya.
Pendekatan pengajaran humanistik didasarkan pada premis bahwa siswa telah memiliki kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang mampu mengaktualisasi diri, sebuah istilah yang digunakan oleh Maslow (1954). Aktualisasi diri orang dewasa yang mandiri, percaya diri, realistis tentang tujuan dirinya, dan fleksibel. Mereka mampu menerima dirinya sendiri, perasaan mereka, dan lain-lain di sekitarnya. Untuk menjadi dewasa dengan aktualisasi dirinya, siswa perlu ruang kelas yang bebas yang memungkinkan mereka menjadi kreatif.
Tujuan dasar pendidikan humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri  dan independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan tertarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Sejalan dengan itu, prinsip-prinsip pendidikan humanistik disajikan sebagai berikut.
a.       Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b.      Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri.
c.       Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relavan dan hanya evaluasi diri (selfevaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk menghafal dan tidak memberikan umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru dan siswa.
d.      Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
e.       Pendidik humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkunngan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna.

D. Teori belajar psikologi sosial
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.
A. Teori Pemodelan (Modeling)
Neil Miller dan John Dollard (1941) dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan (imitation) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan pembelajaran sosial (social learning). Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.
B. Unsur Utama Teori Pemodelan
Bandura meneliti beberapa kasus, salah satunya ialah kenakalan remaja. Menurutnya, lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan.  Dalam teorinya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal dengan teori pembelajaran sosial dan regulasi diri.
Beberapa tahapan yang terjadi dalam proses modeling:
1. Perhatian (Attention)           
Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Bandura & Walters(1963) dalam buku mereka Social Learning & Personality Development menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari.



2. Mengingat (Retention)
Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini memungkinkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila diperlukan atau diingini. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar.
3. Reproduksi gerak (Reproduction)
Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkah laku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Jadi setelah subyek memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4. Motivasi
Motivasi juga penting dalam pemodelan karena ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi subyek harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan. Menurut Bandura, ada beberapa jenis motivasi yaitu:
  • dorongan masa lalu, yaitu dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksud kaum behavioris tradisional
  • dorongan yang dijanjikan (insentif) yaitu yang bisa kita bayangkan
  • dorongan-dorongan yang tampak jelas yaitu seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru
 C. Jenis–jenis Peniruan
Peniruan dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan pengamatnya. Peniruan dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis sebagai berikut:
  1. Peniruan langsung, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.
  2. Peniruan tak langsung, yaitu peniruan  yang dilakukan melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung misalnya meniru watak yang dibaca dalam buku, memperhatikan seorang guru mengajar.
  3. Peniruan gabungan,  yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan (peniruan langsung dan tidak langsung) misalnya seorang pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai dari buku yang dibacanya.
  4. Peniruan sesaat/seketika, yaitu tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.
  5. Peniruan berkelanjutan, yaitu tingkah laku yang ditiru dan ditonjolkan dalam situasi apapun misalnya seorang pelajar meniru gaya bahasa gurunya.

D. Prinsip-prinsip Modeling
Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasi sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata–kata, tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri–ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi.


FAKOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR

1.             Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu, keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar dan perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.
Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah:
a.                      Menjaga pola makan yang sehat dengan memperhatikan nutrisi yang masuk kedalam tubuh, karena  kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar.
b.             Rajin berolahraga agar tubuh selalu bugar dan sehat.
c.              Istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indera. Panca indera yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, merupakan pintu  masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia luar. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.
2.             Faktor psikologis
Faktor–faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
-                 Kecerdasan/intelegensi siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Para ahli membagi tingkatan IQ bermacam-macam, salah satunya adalah penggolongan tingkat IQ berdasarkan tes Stanford-Biner yang telah direvisi oleh Terman dan Merill sebagai berikut:

Distribusi Kecerdasan IQ menurut Stanford Revision
Tingkat Kecerdasan (IQ)
Klasifikasi
140 - 169
Amat superior
120 - 139
Superior
110 - 119
Rata-rata tinggi
90 - 109
Rata-rata
80 - 89
Rata-rata rendah
70 - 79
Batas lemah mental
20 - 69
Lemah mental

Dari tabel tersebut, dapat diketahui ada tujuh penggolongan tingkat kecerdasan manusia, yaitu:
a.              Kelompok kecerdasan amat superior (very superior) merentang antara IQ 140 - 169
b.             Kelompok kecerdasan superior merentang antara IQ 120 - 139
c.              Kelompok rata-rata tinggi (high average) merentang antara IQ 110 - 119
d.             Kelompok rata-rata (average) merentang antara IQ 90 - 109
e.              Kelompok rata-rata rendah (low average) merentang antara IQ 80 - 89
f.              Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70 - 79
g.             Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20 - 69, yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, dan idiot.
-                 Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannyatetapi sudah mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:
a.              Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas
b.             Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
c.              Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, dan teman-teman.
d.             Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberikan pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah. 
-          Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni :
1.      Menerima kesan,
2.      Menyimpan kesan, dan
3.      Memproduksi kesan.
Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan alat peraga kesannya akan lebih dalam pada siwa.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
-          Minat
      Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai factor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, moativasi, dan kebutuhan.
Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain:
1.      Dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa mengeksplore apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar.
2.      Pemilihan jurusan atau bidang  studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.
-          Sikap
 Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2003).
Sikap juga merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuia dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut.
Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya.
-          Bakat
      Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.
Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memperhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
3.      Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk  memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam – macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat selingan beberapa menit. Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar siswa meningkat kembali. Turunnya perhatian dan prestasi belajar tersebut yaitu sebagai berikut :
4.      Rasa Percaya Diri
      Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian “ perwujudan diri “ yang diakui oleh guru dan teman- temannya.Rasa takut belajar tersebut terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagal lagi. Maka, guru sebaiknya mendorong keberanian siswa secara terus – menerus, memberikan bermacam – macam penguat dan memberikan pengakuan dan kepercayaan bagi siswa.
5.      Kebiasaan Belajar
      Dalam kegiatan sehari – hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain:
  1. Belajar pada akhir semester
  2. Belajar tidak teratur
  3. Menyia - nyiakan kesempatan belajar
  4. Bersekolah hanya untuk bergengsi
  5. Dating terlambat bergaya seperti pemimpin
  6. Bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain,
  7. Bergaya minta “ belas kasihan “ tanpa belajar.
6.    Cita – cita Siswa
      Pada umumnya, setiap anak memiliki suatu cita – cita dalam hidup. Cita – cita itu merupakan motivasi instrinsik. Tetapi, ada kalanya “ gambaran yang jelas “ tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berprilaku ikut – ikutan.
      Cita – cita sebagai motivasi instrinsik perlu dididikan. Penanaman memiliki cita –cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan pencapaian cita – cita sudah semakin terarah. Cita –cita merupakan wujud eksplorasi dan emansipasi diri siswa. Penanaman pemilikan dan pencapaian cita –cita sudah sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit.




2. Faktor-faktor eksogen/eksternal
1. Lingkungan sosial 
a.      Lingkungan sosial sekolah, seperti guru , administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
b.      Lingkungan sosial massyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
c.      Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
2. Lingkungan non sosial.     
 Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah;
a.      Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dantenang. Lingkungan alamiah tersebut mmerupakan factor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b.      Faktor instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.
c.      Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Factor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru, disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar